SALJU DAN
NALURI
Juara I
Lomba Menulis Cerita
Pendek 2005
Proyek Peningkatan
Pelajaran Sastra, Jakarta
Oleh : Askolani
Januari 1926. Angin berhembus
dari arah Eropah Selatan, melintasi pengunungan Alpen yang menjulang di
perbatasan Italia dan Swis. Udara membawa kristal salju, menebar di sepanjang
Leiden, pada lapangan rumput dan bunga Tulip, tentu juga di flatku: Herenstraat
132.
Udara berkabut. Dingin mendesak kamar. Seperti
kapas, pohon di sudut halaman berlumur salju. Jaket kutarik. Sepi melintas. Mozart
Night lamat-lamat melintas di radio, menorehkan sesuatu di hati. Ada semacam
rasa kangen terhadap sesuatu yang sempat
hilang. Mungkin juga sebentuk kesepian yang samar-samar, pada apa yang membuat
kita merasa iba.
Anne sekali lagi menuangkan Mansion
ke dalam gelasnya. Entah sudah berapa
kali ia menjejali mulutnya dengan anggur Jamaika itu, sejak salju pertama turun
awalbulan lalu.
"Ayolah, Def. Ini lebih enak dari kopi ‘Sumatera'-mu," katanya bangga. "Gurih dan memberi rasa
hangat."
"Juga rasa mual," sambutku.
Anne tertawa. Bibirnya melengkung di sudut.
"Kutambahkan sari buah, ya! Kujamin, mualmu bakal
hilang!"
Sekali lagi aku menolak. Anggur
Jamaika selalu membuat perutku mual. Ada kesan rasa manis yang asing. Kopi dan bubuk
teh lebih banyak merebut pagiku. Apalagi
kalau diseduh dengan gula merah, mengingatkanku pada masa kanak-kanak di
Sibanggor-desa penghasil gula merah di kaki gunung Merapi. Dan Anne selalu terbahak-bahak
setiap kali aku bercerita bagaimana para lelaki di kampungku, sepulang dari
mesjid, masih bersarung, berkerumun di kedai kopi. Fantastik, katanya.
"Def,"
"Ya."
"Bisakah kau bayangkan aku tiba-tiba kehabisan gin di
musim salju ini?"
"Kukira kau akan memeras Tulip dan menenggak
airnya."
Dia tertawa, lantas menarik
gorden. Kota terpampang bersalju. Fakultas Sastra dan Filsafat terbungkus
putih. Seperti menyambut bidadari, kata Anne. Dan aku mengulum senyum ketika ingat
kata Sularso dulu. Katanya bidadari Eropah lebih putih karena sering terkurung
salju, tapi terlalu kaku untuk ukuran Asia.
"Kau lihat salju itu,
Def?" Anne menunjuk ke luar jendela kaca. Salju menaburi jalanan sepanjang
asrama mahasiswa yang tegak di tengah kota. Beberapa mahasiswa menyeberangi
jalan Langeburg, membelok ke perpustakaan Universitas Leiden. Kebanyakan berpayung
dan mantel, bahkan sepatu bot.
Salju memang tidak seganas
biasanya di bulan Januari. Orang masih bisa merayakan Natal dan Tahun Baru di
taman-taman kota. Bahkan beberapa mahasiswa menyempatkan diri berlibur ke Paris
dan Swis. Mereka tidak harus terkurung di flatnya yang sumpek.
Anne memegang tanganku. Jarinya dingin. Dan kuingat lagi
legenda bidadari Eropah itu.
"Salju memberi rasa aman, tenang, seperti menjanjikan
pertemuan yang mengesankan," cetusnya puitis. "Kau suka, Def? Ini
saat yang paling tepat untuk memulai percintaan yang romantis."
"Kukira kabut pagi di Indonesia lebih indah lagi dari
saljumu," aku membandingkan. Tentu saja kuingat hamparan sawah di
kampungku, deretan kelapa, air mengalir, juga burung pipit di ranting bambu. Di
bawah kabut pagi, bunyi gesekan daun bambu memberi rasa tenang-suatu hal yang
belum pernah kutemukan tiap kali mendengar lagu-lagu Mozart di flat Anne. Dan
ketika aku menyampaikan itu kepadanya, Anne selalu mengatakan bahwa diperlukan
latar belakang sejarah perasaan untuk dapat memahami estetika. Juga salju.
Dia menatapku. Rambut pirangnya mengerbas sampai ke bahu.
Aku meraih Anggrek yang menguning di sisi jendela, melemparnya ke jalanan.
"Kau tahu, Def? Tak ada yang menarik perhatianku
melebihi salju. Putih, basah, seperti cinta yang dalam."
"Kau belum melihat puncak Tidar, Anne. Gunung paling
romantis di negeriku. Sebuah telaga, sungai jernih, dan Edelweis. Kau pasti
bilang terlalu indah untuk pasangan yang bersahabat."
Anne mengulum senyum.
"Kau tidak sedang mimpi Salzburg, kan?" tudingnya.
Ia sering bercerita tentang pesona Berry dan Edelweis Austria di musim salju.
"Kau kira hanya Austria yang kaya Edelweis?"
sergahku. "Indonesia gudangnya bunga-bunga cantik. Coba, bunga apa yang
bisa membuatmu tertawa? Kaktus? Asoka? Kau menemukan semuanya di sana. Mereka
jauh lebih anggun dari gadis-gadis Amsterdam."
Anne menggeleng. Senyum sempitnya mempertontonkan keyakinan
diri yang luar biasa.
"Aku tidak yakin sebuah bunga dapat berkembang baik
dalam masyarakat yang begitu primitif," sanggahnya.
Aku tertawa keras-keras.
"Di negeri ini Tulip lebih unggul dari
gadis-gadisnya," balasku.
Anne mengibaskan tangannya berkali-kali.
Dan seraya menatapku dalam-dalam, ia berujar, "Kau tahu, Def? Aku melihat
pantai Yogya di matamu: berombak agresif, penuh mistis". Dan ketika ia
memainkan dua putaran balet klasik, tak bisa aku menahan tawa. Mataku mengerjab
berkali-kali.
"Kau tahu apa yang ada dalam pikiranku, Anne?" Aku
menyentuh bahunya.
"Kau membayangkan Krakatau meletus dan Batavia babak
belur."
"Kupikir kau lebih bagus mendalami seni balet klasik
dan cabut dari Sastra Timur," cetusku.
Ia mengukir senyum di kulum.
"Def, kau tahu ke mana aku disiapkan dulu?" Ia
menjamah lenganku. Ia selalu begitu jika sedang serius.
"Biarawati. Sudah sering kau mengatakan itu. Dan
kubilang, kau tak kan pernah jadi biarawati."
"Karena aku bandel?"
"Karena akan banyak laki-laki yang mengejarmu ke
biara."
Ia senyum lagi. Lalu tertawa.
Giginya bagus. Tentang ini aku malu, bagaimana aku dibesarkan dalam budaya yang
tidak menganggap gigi sebagai hal yang penting. Kuingat, waktu kanak-kanak kami
suka membersihkan gigi dengan rumput siporkot[1],
diremas-remas, lalu digosokkan ke gigi. Tentang gigi ini pernah jadi bahan diskusi
di Perhimpunan Indonesia[2]. Kuingat ketika itu, Hatta dan Majid sempat
mengusulkan perlunya segmen kesehatan mulut ini dimasukkan dalam prioritas
organisasi. Dan ketika itu kusampaikan kepada Anne, ia merenung sebentar, lalu
tertawa terbahak-bahak. Sekali lagi aku iri pada giginya yang bersih.
"Def, nyanyikan untukku
sebuah lagu. Maukah kau, Def manis? Aku bilang
kau anak yang manis! Oh, kalau saja kau tak masuk Fakultas Hukum!" Ia menarik nafas agak panjang, sambil menatap
ke luar flat. Salju masih saja mengguyur. "Kalau saja matahari tiba-tiba
melintas di atas Leiden dan mencairkan salju....... Kalau saja Mama Holy
tiba-tiba muncul di pintu dan menyanyikan Heidelroos."
Anne lalu bernyanyi keras-keras. Gorden kututup, lalu
kukenang istriku di kampung, Maimunah.
* * *
Leiden berbalut malam. Tanpa
bulan. Hanya beberapa bintang tampak di atas kota, buram, sunyi tertoreh. Lara
terasa mengendap. Beberapa lembar konsep petisi Perhimpunan Indonesia masih terserak di meja. Juga kawat dari Ali tentang
pertemuannya dengan ‘kawan-kawan pergerakan'[3].
Dan Anne, sejak sore betah di muka jendela. Beberapa buku tentang sastra Timur tampak
rapi di mejanya. Juga cerita Puti Bungsu[4], hal yang membuat dia percaya bahwa tidak
seluruh kebudayaan Indonesia itu paternalistik.
"Def."
"Ya."
"Bisakah kau membayangkan kita berbaring di bintang,
lalu orang-orang bumi memandangi kita? Tentu juga Vollen, suamiku, mantan
suamiku. Ia tentu kaget bagaimana berat badanku bisa turun. Kau lihat kan,
pinggulku juga lebih bagus? Kau juga lebih manis, Def! Tampak akademisi. Ayolah,
Def. Apa pendapatmu tentang aku?" Ia lalu menyeruput gin di depannya.
"Kukira Profesor Link yang pertama kaget," ujarku
sekenanya. "Kau tahu? Ia selalu menyepelekanku dalam Filsafat Hukum. Ia
tak pernah memandangku tanpa perendahan Asia."
Anne tak perduli. Ia melanjutkan lamunannya.
"Coba bayangkan. Seorang Asia dan gadis Leiden
berbaring di bintang. Bumi akan tampak sebesar bola kasti. Oh, Def, kau bisa
melompat dari sana, lalu jatuh di tanah Deli."
"Maaf, Anne. Aku belum berpikir sejauh itu," Tapi kuingat juga kampungku di tepi sungai,
dikelilingi rumpun bambu. Tentu juga kuingat pada bangku bambu di bawah jambu,
tempat aku dan Maimunah menikmati bulan purnama.
"Def." Anne masih saja menuangkan gin ke dalam gelasnya. Buihnya melimpah.
"Kau tahu apa kata Vollen tantangmu?"
"Entahlah, Anne. Mungkin ia bilang aku sangat lemah
untuk mata kuliah Sejarah Kebudayaan Yunani."
"Katanya kau pecinta yang luar biasa."
"Aku tak tertarik."
"Ia juga bilang kau terlalu ‘lembut' untuk ukuran gadis
Eropah."
"Kami dirancang untuk mendampingi gadis Asia,"
ungkapku sedikit kaku.
"Lamban, patuh, setia. Oh, Def, tak bisa kubayangkan
jika Vollen bercinta dengan mereka. Kau tahu mengapa ia meninggalkanku? Katanya
aku tidak dinamis. Lucu, ya! Bisakah kita mengubah orang, Def? Tidak mungkin!
Dan kukatakan pada Vollen: aku tidak disiapkan untuk laki-laki sepertimu! Dan
sudah kuduga, ia seorang yang mudah mengerti untuk menutup sebuah
hubungan."
Aku bergeming. Sudah beberapa
hari ini aku hilang semangat. Surat dari Sumatera sangat merebut pikiranku. Ada
pemberontakan petani di Silungkang. Beberapa tokoh pergerakan ditangkapi, juga
Abdul Kadir, mertuaku. Aku bayangkan bagaimana istriku sekarang sangat merasa
perlunya ada aku untuk membagi hati. Maimunah pernah mengatakan bahwa perempuan
sanggup melakukan semua hal, tapi manakala hatinya gundah, di situlah mereka
perlu laki-laki tempat berbagi hati. Dan ketika surat itu kutunjukkan pada
Anne, ia merenung cukup lama. "Ia punya sisi perempuan yang tidak kami
kenali di Eropah," katanya singkat.
Kopi kiriman Maimunah kuseruput.
Harum dan gurih. Ada bau hutan tropis, tanah yang basah sehabis hujan; bau
petani miskin, bau harapan dan sunyi, tentu juga bau istriku. Mata kupejamkan.
Aku dengar bunyi barigit[5] di waktu subuh, para
perempuan berangkat mandi. Ada bunyi air mengalir, daun bambu yang berdesir,
suara-suara malam, seloroh gadis-gadis menumbuk padi, suara ayam yang
berdesakan keluar kandang di waktu pagi, juga suara istriku yang mendesah
melagukan Bue-bue[6], lagu-lagu rakyat yang lirih.
Semua berebut masuk dan mengendap di lara. Anne menatapku. Seingatku matanya
basah.
* * *
[1] Rumput sawah yang tajam
kedua sisi daunnya, sehingga goresannya bisa melukai kaki.
[2] Organisasi mahasiswa asal
Indonesia di Belanda di masa kolonial.
[3] Istilah untuk tokoh-tokoh
di Indonesia yang menggagas bangsa merdeka.
[4] Cerita rakyat
Minangkabau.
[5] Tempat air yang terbuat
dari bambu.
[6] Lagu pengantar tidur di
Mandailing untuk anak-anak yang diayun dalam kain selendang.
Tympanum Novem | Media Berbasis Mandailing :
http://localhost
Versi Online :
http://localhost/?pilih=news&aksi=lihat&id=20
1 komentar on "Cerpen SALJU DAN NALURI "
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/kulkas-dan-freezer-berbau-lakukan-hal.html
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/ketagihan-manisnya-kopi-instan-berujung.html
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/kentut-akan-dijadikan-terapi.html
http://beritamurnivip99.blogspot.com/2017/11/wanita-as-tewa-usai-jalani-proses-sedot.html
Tunggu Apa Lagi Guyss..
Let's Join With Us At Dominovip.com ^^
Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami :
- BBM : D8809B07 / 2B8EC0D2
- Skype : Vip_Domino
- WHATSAPP : +62813-2938-6562
- LINE : DOMINO1945.COM
- No Hp : +855-8173-4523
Posting Komentar