SALJU DAN
NALURI
Januari 1926. Angin berhembus
dari arah Eropah Selatan, melintasi pengunungan Alpen yang menjulang di
perbatasan Italia dan Swis. Udara membawa kristal salju, menebar di sepanjang
Leiden, pada lapangan rumput dan bunga Tulip, tentu juga di flat Def:
Herenstraat 132.
Udara berkabut. Dingin mendesak kamar. Seperti
kapas, pohon di sudut halaman berlumur salju. Def menarik jaket. Sepi melintas.
Mozart Night lamat-lamat melintas di radio, menorehkan sesuatu di hati. Ada
semacam rasa kangen terhadap sesuatu
yang sempat hilang. Mungkin juga sebentuk kesepian yang samar-samar,
pada apa yang membuat kita merasa iba.
Anne sekali lagi
menuangkan Mansion ke dalam gelasnya.
Entah sudah berapa kali ia menjejali mulutnya dengan anggur Jamaika itu, sejak
salju pertama turun awalbulan lalu.
Anne : "Ayolah, Def. Ini lebih enak dari
kopi ‘Sumatera'-mu, Gurih dan memberi rasa hangat."
Def :"Juga
rasa mual,"
Anne : (tertawa) "Kutambahkan sari buah,
ya! Kujamin, mualmu bakal hilang!"
Sekali lagi Def
menolak. Anggur Jamaika selalu membuat perut Def mual. Ada kesan rasa manis
yang asing. Kopi dan bubuk teh lebih
banyak merebut pagi Def. Apalagi kalau diseduh dengan gula merah,
mengingatkan Def pada masa kanak-kanak di Sibanggor-desa penghasil gula merah
di kaki gunung Merapi. Dan Anne selalu terbahak-bahak setiap kali Def bercerita
bagaimana para lelaki di kampungnya, sepulang dari mesjid, masih bersarung,
berkerumun di kedai kopi. Fantastik, kata Anne.
Anne :
"Def,"
Def :
"Ya."
Anne :
"Bisakah kau bayangkan aku tiba-tiba kehabisan gin di musim salju
ini?"
Def :
"Kukira kau akan memeras Tulip dan menenggak airnya."
Anne tertawa, lantas menarik gorden. Kota terpampang bersalju. Fakultas Sastra dan Filsafat terbungkus
putih. Seperti menyambut bidadari, kata Anne. Dan Def mengulum senyum ketika
ingat kata Sularso dulu. Katanya bidadari Eropah lebih putih karena sering
terkurung salju, tapi terlalu kaku untuk ukuran Asia.
Anne : "Kau
lihat salju itu, Def?" (Sambil
menunjuk ke luar jendela kaca)
Salju menaburi jalanan
sepanjang asrama mahasiswa yang tegak di tengah kota. Beberapa mahasiswa
menyeberangi jalan Langeburg, membelok ke perpustakaan Universitas Leiden.
Kebanyakan berpayung dan mantel, bahkan sepatu bot.
Salju memang tidak
seganas biasanya di bulan Januari. Orang masih bisa merayakan Natal dan Tahun
Baru di taman-taman kota. Bahkan beberapa mahasiswa menyempatkan diri berlibur
ke Paris dan Swis. Mereka tidak harus terkurung di flatnya yang sumpek.
Anne memegang tangan
Def. Jarinya dingin. Dan Def mengingat lagi legenda bidadari Eropah itu.
Anne : "Salju memberi rasa aman, tenang,
seperti menjanjikan pertemuan yang mengesankan, Kau suka, Def? Ini saat yang paling
tepat untuk memulai percintaan yang romantis. "
Def : "Kukira kabut pagi di Indonesia
lebih indah lagi dari saljumu,"
Def meningat hamparan
sawah di kampungnya, deretan kelapa, air mengalir, juga burung pipit di ranting
bambu. Di bawah kabut pagi, bunyi gesekan daun bambu memberi rasa tenang-suatu
hal yang belum pernah ia temukan tiap kali mendengar lagu-lagu Mozart di flat
Anne. Dan ketika Def menyampaikan itu kepada Anne, Anne selalu mengatakan bahwa
diperlukan latar belakang sejarah perasaan untuk dapat memahami estetika. Juga
salju.
Anne menatapku. Def meraih Anggrek yang menguning di sisi
jendela, melemparnya ke jalanan.
Anne : "Kau
tahu, Def? Tak ada yang menarik perhatianku melebihi salju. Putih, basah,
seperti cinta yang dalam."
Def : "Kau belum melihat puncak Tidar,
Anne. Gunung paling romantis di negeriku. Sebuah telaga, sungai jernih, dan
Edelweis. Kau pasti bilang terlalu indah untuk pasangan yang bersahabat."
Anne : (mengulum senyum) "Kau tidak sedang
mimpi Salzburg, kan?"
Def : "Kau kira hanya Austria yang kaya
Edelweis? Indonesia gudangnya bunga-bunga cantik. Coba, bunga apa yang bisa
membuatmu tertawa? Kaktus? Asoka? Kau menemukan semuanya di sana. Mereka jauh
lebih anggun dari gadis-gadis Amsterdam."
Anne : (menggeleng)
"Aku tidak yakin sebuah bunga dapat berkembang baik dalam masyarakat yang
begitu primitif,"
Def : (tertawa
keras-keras) "Di negeri ini Tulip lebih unggul dari
gadis-gadisnya,"
Anne : (mengibaskan
tangan berkali-kali) (menatap Def dalam-dalam) "Kau tahu, Def? Aku
melihat pantai Yogya di matamu: berombak agresif, penuh mistis" (memainkan dua putaran balet klasik)
Def : (menahan
tawa) (mengerjapkan mata berkali-kali) "Kau tahu apa yang ada dalam
pikiranku, Anne?" (menyentuh bahu
Anne)
Anne : "Kau
membayangkan Krakatau meletus dan Batavia babak belur."
Def :
"Kupikir kau lebih bagus mendalami seni balet klasik dan cabut dari Sastra
Timur,"
Anne : (mengulum
senyum) “ Def, kau tahu ke mana aku disiapkan dulu? ”(menjamah lengan def).
Def :
“ Biarawati. Sudah sering kau mengatakan itu. Dan kubilang, kau tak kan pernah
jadi
biarawati. ”
Anne :
“ Karena aku bandel? ”
Def :
“ Karena akan banyak laki-laki yang mengejarmu ke biara. ”
Anne
tersenyum, lalu tertawa. Def memperhatikan gigi Anne yang bagus. Ia mengingat
waktu kanak-kanaknya ketika ia senang membersihkan giginya dengan rumput
siporkot. Dan mengingat ketika Hatta dan Masjid yang sempat mengusulkan
perlunya segmen kesehatan mulut masuk dalam prioritas organisasi. Ketika Def
menyampaikan kepada Anne, Anne merenung sebentar, kemudian tertawa
terbahak-bahak.
Anne :
“ Def nyanyikan untukku sebuah lagu. Maukah kau, Def manis? Aku bilang kau anak
yang
manis! Oh, kalau saja kau tak masuk
Fakultas Hukum! ” (menarik nafas agak
panjang,
sambil menatap keluar
flat). “ Kalau saja matahari tiba-tiba melintas di atas Leiden
mencairkan salju. Kalau saja Mama Holy
tiba-tiba muncul di pintu dan menyanyikan
Heidelroos. ”
Kemudian
Anne bernyanyi dengan keras. Gorden ditutup, dan Def mulai mengenang istrinya
di kampung, Maimunah.
Leiden
berbalut malam, tanpa bulan. Hanya beberapa bintang tampak di atas kota, buram,
sunyi tertoreh, lalu terasa mengendap. Beberapa lembar konsep petisi Perhimpuna
Indonesia masih berserakan di meja.
Anne :
(Berada di muka jendela. Dengan beberapa
bukunya yang tertata rapi di mejanya, buku
tentang sastra Timur) “ Def. ”
Def :
“ Ya. ”
Anne :
“ Bisakah kau membayangkan kita berbaring di bintang, lalu orang-orang bumi
memandangi kita? Tentu juga Vollen,
suamiku, mantan suamiku. Ia tentu kaget
bagaimana berat badanku bisa turun. Kau
lihat kan, pinggulku juga lebih bagus? Kau juga
lebih manis, Def! Tampak akademisi.
Ayolah, Def. Apa pendapatmu tentang aku? ”
(menyeruput
gin didepannya).
Def :
“ Kukira Profesor Link yang pertama kaget. Kau tahu? Ia selalu menyepelekanku
dalam
Filsafat Hukum. Ia tak pernah memandangku
tanpa perendahan Asia. ”
Anne :
(melamun) “ Coba bayangkan. Seorang
Asia dan gadis leiden berbaring di bintang. Bumi
akan tampak sebesar bola kasti. Oh, Def,
kau bisa melompat dari sana, lalu jatuh di tanah
Deli. ”
Def :
“ Maaf, Anne. Aku belum berpikir sejauh itu. ” (mengingat kampungnya, dan tempatnya
bersama Maimunah menikmati
bulan pernama).
Anne :
“ Def. (menuang gin ke dalam gelasnya)
Kau tahu apa kata Vollen tentangmu? ”
Def :
“ Entahlah, Anne. Mungkin ia bilang aku sangat lemah untuk mata kuliah Sejarah
Kebudayaan Yunani. ”
Anne :
“ Katanya kau pecinta yang luar biasa. ”
Def :
“ Aku tak tertarik. ”
Anne :
“ Ia bilang juga kau terlalu ‘lembut’ untuk ukuran gadis Eropah. ”
Def :
“ Kami dirancang untuk mendampingi gadis Asia. ” (diungkapkan dengan kaku)
Anne :
“ Lamban, patuh, setia. Oh, Def, tak bisa kubayangkan jika Vollen bercinta
dengan mereka.
Kau
tahu mengapa ia meninggalkanku? Katanya aku tidak dinamis. Lucu, ya! Bisakah
kita
mengiubah orang, Def? Tidak mungkin! Dan
kukatakan pada Vollen, aku tidak disiapkan
untuk laki-laki sepertimu! Dan sudah
kuduga, ia seorang yang mudah mengerti untuk
menutup sebuah hubungan. ”
Def
bergeming, beberapa hari ini ia kehilangan semangat. Surat dari Sumatera sangat
merebut pikirannya. Membayangkan istrinya yang merasa sangat perlunya
keberadaan Def untuk membagi hati.
Def :
(menunjukkan surat pada Anne dan merenung lama) “ Ia punya sisi perempuan yang
tidak
kami kenali di Eropah. ”
Kemudian
Def menyeruput kopi kiriman Maimunah. Harum dan gurih. Ada bau hutan tropis,
tanah yang basah sehabis hujan, bau petani miskin, bau harapan dan sunyi, tidak
lupa bau istrinya. Matanya dipejamkan, dan ia mendengar bunyi barigit di waktu
subuh, para perempuan berangkat mandi. Terdengar bunyi air mengalir, daun bambu
yang berdesir, suara-suara malam, seloroh gadis-gadis menumbuk padi, suara ayam
yang berdesakan keluar kandang di waktu pagi, juga suara istrinya yang mendesah
melagukan Bue-bue, lagu-lagu rakyat yang lirih. Semua berebut masuk dan
mengendap lara.
Anne :
(menatap Def dan menangis)
0 komentar on "Naskah Drama Salju Dan Naluri"
Posting Komentar