Rabu, 27 November 2013

Naskah Drama Salju Dan Naluri

Diposting oleh Unknown di 02.06
SALJU DAN NALURI
Januari 1926. Angin berhembus dari arah Eropah Selatan, melintasi pengunungan Alpen yang menjulang di perbatasan Italia dan Swis. Udara membawa kristal salju, menebar di sepanjang Leiden, pada lapangan rumput dan bunga Tulip, tentu juga di flat Def: Herenstraat 132.
 Udara berkabut. Dingin mendesak kamar. Seperti kapas, pohon di sudut halaman berlumur salju. Def menarik jaket. Sepi melintas. Mozart Night lamat-lamat melintas di radio, menorehkan sesuatu di hati. Ada semacam rasa kangen terhadap sesuatu  yang sempat hilang. Mungkin juga sebentuk kesepian yang samar-samar, pada apa yang membuat kita merasa iba.
Anne sekali lagi menuangkan Mansion  ke dalam gelasnya. Entah sudah berapa kali ia menjejali mulutnya dengan anggur Jamaika itu, sejak salju pertama turun awalbulan lalu.
Anne     : "Ayolah, Def. Ini lebih enak dari kopi ‘Sumatera'-mu, Gurih dan memberi rasa hangat."
Def         :"Juga rasa mual,"
Anne     : (tertawa) "Kutambahkan sari buah, ya! Kujamin, mualmu bakal hilang!"
Sekali lagi Def menolak. Anggur Jamaika selalu membuat perut Def mual. Ada kesan rasa manis yang asing. Kopi dan bubuk teh lebih  banyak merebut pagi Def. Apalagi kalau diseduh dengan gula merah, mengingatkan Def pada masa kanak-kanak di Sibanggor-desa penghasil gula merah di kaki gunung Merapi. Dan Anne selalu terbahak-bahak setiap kali Def bercerita bagaimana para lelaki di kampungnya, sepulang dari mesjid, masih bersarung, berkerumun di kedai kopi. Fantastik, kata Anne.
Anne     : "Def,"
Def         : "Ya."
Anne     : "Bisakah kau bayangkan aku tiba-tiba kehabisan gin di musim salju ini?"
Def         : "Kukira kau akan memeras Tulip dan menenggak airnya."
Anne tertawa, lantas menarik gorden. Kota terpampang bersalju. Fakultas Sastra dan Filsafat terbungkus putih. Seperti menyambut bidadari, kata Anne. Dan Def mengulum senyum ketika ingat kata Sularso dulu. Katanya bidadari Eropah lebih putih karena sering terkurung salju, tapi terlalu kaku untuk ukuran Asia.
Anne     : "Kau lihat salju itu, Def?" (Sambil menunjuk ke luar jendela kaca)
Salju menaburi jalanan sepanjang asrama mahasiswa yang tegak di tengah kota. Beberapa mahasiswa menyeberangi jalan Langeburg, membelok ke perpustakaan Universitas Leiden. Kebanyakan berpayung dan mantel, bahkan sepatu bot.
Salju memang tidak seganas biasanya di bulan Januari. Orang masih bisa merayakan Natal dan Tahun Baru di taman-taman kota. Bahkan beberapa mahasiswa menyempatkan diri berlibur ke Paris dan Swis. Mereka tidak harus terkurung di flatnya yang sumpek.
Anne memegang tangan Def. Jarinya dingin. Dan Def mengingat lagi legenda bidadari Eropah itu.
Anne     : "Salju memberi rasa aman, tenang, seperti menjanjikan pertemuan yang mengesankan, Kau suka, Def? Ini saat yang paling tepat untuk memulai percintaan yang romantis. "
Def         : "Kukira kabut pagi di Indonesia lebih indah lagi dari saljumu,"
Def meningat hamparan sawah di kampungnya, deretan kelapa, air mengalir, juga burung pipit di ranting bambu. Di bawah kabut pagi, bunyi gesekan daun bambu memberi rasa tenang-suatu hal yang belum pernah ia temukan tiap kali mendengar lagu-lagu Mozart di flat Anne. Dan ketika Def menyampaikan itu kepada Anne, Anne selalu mengatakan bahwa diperlukan latar belakang sejarah perasaan untuk dapat memahami estetika. Juga salju.
Anne menatapku. Def meraih Anggrek yang menguning di sisi jendela, melemparnya ke jalanan.
Anne     : "Kau tahu, Def? Tak ada yang menarik perhatianku melebihi salju. Putih, basah, seperti cinta yang dalam."
Def         : "Kau belum melihat puncak Tidar, Anne. Gunung paling romantis di negeriku. Sebuah telaga, sungai jernih, dan Edelweis. Kau pasti bilang terlalu indah untuk pasangan yang bersahabat."
Anne     : (mengulum senyum) "Kau tidak sedang mimpi Salzburg, kan?"
Def         : "Kau kira hanya Austria yang kaya Edelweis? Indonesia gudangnya bunga-bunga cantik. Coba, bunga apa yang bisa membuatmu tertawa? Kaktus? Asoka? Kau menemukan semuanya di sana. Mereka jauh lebih anggun dari gadis-gadis Amsterdam."
Anne     : (menggeleng) "Aku tidak yakin sebuah bunga dapat berkembang baik dalam masyarakat yang begitu primitif,"
Def         : (tertawa keras-keras) "Di negeri ini Tulip lebih unggul dari gadis-gadisnya,"
Anne     : (mengibaskan tangan berkali-kali) (menatap Def dalam-dalam) "Kau tahu, Def? Aku melihat pantai Yogya di matamu: berombak agresif, penuh mistis" (memainkan dua putaran balet klasik)
Def         : (menahan tawa) (mengerjapkan mata berkali-kali) "Kau tahu apa yang ada dalam pikiranku, Anne?" (menyentuh bahu Anne)
Anne     : "Kau membayangkan Krakatau meletus dan Batavia babak belur."
Def         : "Kupikir kau lebih bagus mendalami seni balet klasik dan cabut dari Sastra Timur,"  
Anne     : (mengulum senyum) “ Def, kau tahu ke mana aku disiapkan dulu? ”(menjamah lengan def).
Def         : “ Biarawati. Sudah sering kau mengatakan itu. Dan kubilang, kau tak kan pernah jadi
                     biarawati. ”
Anne     : “ Karena aku bandel? ”
Def         : “ Karena akan banyak laki-laki yang mengejarmu ke biara. ”
Anne tersenyum, lalu tertawa. Def memperhatikan gigi Anne yang bagus. Ia mengingat waktu kanak-kanaknya ketika ia senang membersihkan giginya dengan rumput siporkot. Dan mengingat ketika Hatta dan Masjid yang sempat mengusulkan perlunya segmen kesehatan mulut masuk dalam prioritas organisasi. Ketika Def menyampaikan kepada Anne, Anne merenung sebentar, kemudian tertawa terbahak-bahak.
Anne     : “ Def nyanyikan untukku sebuah lagu. Maukah kau, Def manis? Aku bilang kau anak yang
                     manis! Oh, kalau saja kau tak masuk Fakultas Hukum! ” (menarik nafas agak panjang,
                     sambil menatap keluar flat). “ Kalau saja matahari tiba-tiba melintas di atas Leiden
                     mencairkan salju. Kalau saja Mama Holy tiba-tiba muncul di pintu dan menyanyikan
                     Heidelroos. ”
Kemudian Anne bernyanyi dengan keras. Gorden ditutup, dan Def mulai mengenang istrinya di kampung, Maimunah.
Leiden berbalut malam, tanpa bulan. Hanya beberapa bintang tampak di atas kota, buram, sunyi tertoreh, lalu terasa mengendap. Beberapa lembar konsep petisi Perhimpuna Indonesia masih berserakan di meja.
Anne     : (Berada di muka jendela. Dengan beberapa bukunya yang tertata rapi di mejanya, buku
    tentang sastra Timur) “ Def. ”
Def         : “ Ya. ”
Anne     : “ Bisakah kau membayangkan kita berbaring di bintang, lalu orang-orang bumi
                     memandangi kita? Tentu juga Vollen, suamiku, mantan suamiku. Ia tentu kaget
                     bagaimana berat badanku bisa turun. Kau lihat kan, pinggulku juga lebih bagus? Kau juga
                     lebih manis, Def! Tampak akademisi. Ayolah, Def. Apa pendapatmu tentang aku? ”
                     (menyeruput gin didepannya).
Def         : “ Kukira Profesor Link yang pertama kaget. Kau tahu? Ia selalu menyepelekanku dalam
     Filsafat Hukum. Ia tak pernah memandangku tanpa perendahan Asia. ”
Anne     : (melamun) “ Coba bayangkan. Seorang Asia dan gadis leiden berbaring di bintang. Bumi
                    akan tampak sebesar bola kasti. Oh, Def, kau bisa melompat dari sana, lalu jatuh di tanah
    Deli. ”
Def         : “ Maaf, Anne. Aku belum berpikir sejauh itu. ” (mengingat kampungnya, dan tempatnya
      bersama Maimunah menikmati bulan pernama).
Anne     : “ Def. (menuang gin ke dalam gelasnya) Kau tahu apa kata Vollen tentangmu? ”
Def         : “ Entahlah, Anne. Mungkin ia bilang aku sangat lemah untuk mata kuliah Sejarah
                     Kebudayaan Yunani. ”
Anne     : “ Katanya kau pecinta yang luar biasa. ”
Def         : “ Aku tak tertarik. ”
Anne     : “ Ia bilang juga kau terlalu ‘lembut’ untuk ukuran gadis Eropah. ”
Def         : “ Kami dirancang untuk mendampingi gadis Asia. ” (diungkapkan dengan kaku)
Anne     : “ Lamban, patuh, setia. Oh, Def, tak bisa kubayangkan jika Vollen bercinta dengan mereka.
     Kau tahu mengapa ia meninggalkanku? Katanya aku tidak dinamis. Lucu, ya! Bisakah kita
     mengiubah orang, Def? Tidak mungkin! Dan kukatakan pada Vollen, aku tidak disiapkan
     untuk laki-laki sepertimu! Dan sudah kuduga, ia seorang yang mudah mengerti untuk
                     menutup sebuah hubungan. ”
Def bergeming, beberapa hari ini ia kehilangan semangat. Surat dari Sumatera sangat merebut pikirannya. Membayangkan istrinya yang merasa sangat perlunya keberadaan Def untuk membagi hati.
Def         : (menunjukkan surat pada Anne dan merenung lama) “ Ia punya sisi perempuan yang tidak
                    kami kenali di Eropah. ”
Kemudian Def menyeruput kopi kiriman Maimunah. Harum dan gurih. Ada bau hutan tropis, tanah yang basah sehabis hujan, bau petani miskin, bau harapan dan sunyi, tidak lupa bau istrinya. Matanya dipejamkan, dan ia mendengar bunyi barigit di waktu subuh, para perempuan berangkat mandi. Terdengar bunyi air mengalir, daun bambu yang berdesir, suara-suara malam, seloroh gadis-gadis menumbuk padi, suara ayam yang berdesakan keluar kandang di waktu pagi, juga suara istrinya yang mendesah melagukan Bue-bue, lagu-lagu rakyat yang lirih. Semua berebut masuk dan mengendap lara.
Anne     : (menatap Def dan menangis)
 






0 komentar on "Naskah Drama Salju Dan Naluri"

Posting Komentar

 

Upie Rukurukucil Copyright 2009 Sweet Cupcake Designed by Ipiet Templates Image by Tadpole's Notez