BAB I : WOLFGANG AMADEUS MOZART
Pagi ini adalah hari ke 15 dari
bulan Desember,masih dengan suasana musim dingin yang menggeretakkan gigi dan
membekukan tulangku, seperti biasa aku berangkat sekolah dari blok perumahan
menuju stasiun Metro yang berjarak tidak jauh dari tempat tinggalku.Menapaki
trotoar yang berselimut salju tebal sembari merapatkan mantel tebal berbulu
yang kini sedang ku kenakan. Aku terduduk dibangku tunggu sambil menyesap secup
coffelatte, menikmati arsitektur bergaya nouveau yang unik.Aku masih memandanginya
dengan takjub, sekelebat bayangan tanah air muncul dibenakku….., Deru kereta
mulai terdengar memecah kenangan-kenangan
indah Indonesiaku.Segera kulangkahkan kaki jenjangku kedalam kereta yang
mentransport sekitar 4,5 juta orang perhari itu.
Seorang lelaki berwajah unyu itu
melambaikan tangan kearahku seraya menepuk-nepuk bangku kosong disebelahnya, ia
tersenyum sumringah menyambut kehadiranku, dengan langkah pasti aku berjalan
mendekatinnya dan duduk bersanding dengannnya “Bonjour, belle” sapanya riang,
“bonjour, beau” balasku sambil terkekeh pelan. Ia mulai bercerita mengenai
seniman yang ia temui kemarin sore saat pulang sekolah dengan semangat membara,sambil
memperagakan tiap-tiap adegan kejadian yang ia lalui, bagai seorang actor yang
memperagakan sebuah adegan film yang tengah ia sutradarai sendiri. Wajahnya
yang terkesan imut seperti bayi itu mampu membiusku kedalam ceritannya yang
penuh dengan petualangan dan seni-seni music yang padu nan indah.Ia seorang
pianist kecil yang tampan, jika jari-jemarinya telah menyentuh tiap-tiap tuts
pada piano secara acak, orang-orang disekelilingnya pasti akan bersorak
kemudian terdiam menikmati setiap nada-nada indah yang terlantun dari
jari-jemarinya.
Tak terasa stasiun
pemberhentianku sebentar lagi tiba, aku bergegas mengenakan tas ransel yang
sedari tadi keletakkan dipangkuanku.Greyson berpamitan kepadaku karena ia harus mengambil beberapa buku yang kemarin
ingin ia pinjam diperpustakaan, aku hanya manggut-manggut melihatnya berkata
secepat kereta metro yang baru saja kami tumpangi, aku hanya menatap
punggungnya yang kian lama menghilang dibalik kerumunan manusia yang
berlalu-lalang di stasiun metro ini,Greyson, pemuda berbakat asal texas amerika
itu memiliki semangat belajar yang tinggi,Dia bersekolah diparis hanya dengan
bermodalkan beasiswa dan akomodasi yang diberikan delegasi amerika kepada pelajar-pelajar
jenius sepertinya,walaupun demikian Greyson tetap menjadi Greyson, Bocah 15
tahun yang gemar membaca, menganalisis,beragumen dan berdebat dengan
menggunakan fakta yang konkrit, dan yang paling mendominasi adalah jiwa seninya
dalam memainkan piano dan karya-karyanya yang menyejukkan hati, yang
mejadikannya seorang Wolfgang Amadeus Mozart kedua dikehidupanku.
Sungguh
Dramatis..! Aku mulai mengingat perbedaan drastis yang terjadi ditanah airku
saat ini, para remaja mulai kehilangan jati dirinya sebagai pemuda indonesia,
banyak remaja yang jenius dan berpotensi membangun Negara Indonesia menjadi
negara adi kuasa terhalang oleh] godaan-godaan yang diumbar melalui dunia maya.
Miriss..! Penjajahan mulai dilakukan secara halus, bertahap, melangkah dengan pasti dan tersusun rapi,
menghunus, menelusup langsung kerongga jantung Indonesia, bagai virus yang
langsung secara sarkatis menyerang telur-telur burung garuda yang masih
bercangkang lunak, melumpuhkan generasi-generasi muda penerus bangsa yang
bertanggung jawab atas kelangsungan kemerdekaan bahkan keberadaan Negara
Republik Indonesia.
0 komentar on "Life Is Adventure Bab I"
Posting Komentar